BELAJAR BERSAMA PAK AGU
Minggu, 08 Oktober 2023
Minggu, 16 April 2023
Koneksi Antar Materi Modul 3.1
Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin
Sebagai guru penggerak tertanam nilai-nilai yang berpihak pada murid, reflektif, mandiri, kolaboratif, serta inovatif sangat berpengaruh dalam mengambil keputusan dengan prinsip Berpikir Berbasis Hasil Akhir (End-Based Thinking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) dan Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking), terutama nilai guru penggerak yang berpihak pada murid yang memenuhi salah satu dari tiga unsur dalam pengambilan keputusan.
Materi pengambilan keputusan erat kaitannya dengan kegiatan ‘coaching’ (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran, Pendamping memberikan bimbingan dengan prinsip kemitraan dimana pendamping menempatkan dirinya setara dengan CGP. Pendamping dan fasilitator dengan proses kreatif berusaha mengantarkan kami sebagai CGP dari situasi dia saat ini ke situasi ideal yang kami diinginkan di masa depan. Untuk memaksimalkan potensi dan memberdayakan CGP, Pendamping dan Fasilitator senantiasa membimbing dan mengarahkan sampai kami selaku CGP mampu menemukan rencana tindak lanjut , yang paling mungkin dilakukan dan paling besar kemungkinan berhasilnya. Dengan sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan di antaranya: (1) Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini, (2) Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini, (3) Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini, (4) Pengujian benar atau salah, terdiri atas : Uji Legal, Uji Regulasi/Standar Profesional, Uji Intuisi, Uji Halaman Depan Koran, dan Uji Panutan/Idola, (5) Pengujian Paradigma Benar lawan Benar, (6) Melakukan Prinsip Resolusi, (7) Investigasi Opsi Trilema, (8) Buat Keputusan, (9) Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan membuat keputusan yang kami ambil lebih efektif untuk ditindak lanjuti.
Berdasarkan nilai kebajikan
universal dapat dibedakan antara dilema etika dan bujukan moral, saat menghadapi
nilai kebajikan yang sama-sama benar makan saat itulah kita mengahdapi kasus
dilema etika, namun jika ada pperaturan atau hukum yang dilanggar maka kasus
tersebut merupakan bujukan moral. dilema etika dan bujukan moral dapat diketahui
jika memenuhi atau tidak memenuhi 3 prinsip 4 paradigma dengan menerapkan 9
langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Hal diluar dugaan adalah tipisnya
perbedaan antara dilema etika dan bujukan moral yang membuat kita kadang salah
menyimpulkan kasus tersebut dilema etika atau bujukan moral.
Pentingnya
perkembangan murid secara holistik, bukan hanya intelektual, tetapi juga fisik,
emosional, sosial, dan karakter, masih lemahnya perkembangan sosial dan
emosional para murid kita membuat pembelajaran yang dapat menumbuhkan
kompetensi sosial dan emosional murid adalah sebuah urgensi dalam proses
pendidikan. Menumbuhkan dan melatih lima Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE),
yaitu: kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi,
dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab akan sangat membantu dalam
mengambil keputusan khususnya masalah dilema etika.
Pembahasan studi kasus yang akan dihadapi seorang pemimpin sekolah, khususnya studi kasus di mana dua kepentingan sama-sama benar, sama-sama memiliki nilai-nilai kebajikan hendaknya setiap keputusan yang diambil tersebut selaras dengan nilai-nilai kebajikan yang dijunjung tinggi yaitu bertanggung jawab dan berpihak pada murid. Selanjutnya Gossen berpendapat bahwa bila kita ingin menumbuhkan motivasi instrinsik dari dalam diri seseorang, maka tumbuhkan pemahaman terhadap nilai-nilai kebajikan universal. Nilai-nilai kebajikan universal bisa antara lain Keadilan, Keselamatan, Tanggung Jawab, Kejujuran, Rasa Syukur, Lurus Hati, Berprinsip, Integritas, Kasih Sayang, Rajin, Berkomitmen, Percaya Diri, Kesabaran, Keamanan, dan lain-lain
Dalam
keterampilan pengambilan keputusan seringkali berbagai kepentingan saling
bersinggungan, dan ada pihak-pihak yang akan merasa dirugikan atau tidak puas
atas keputusan yang telah diambil. Kegiatan pengambilan keputusan adalah suatu
keterampilan, semakin sering kita melakukannya maka semakin terlatih, fokus, dan tepat sasaran.
Sesulit apapun keputusan yang harus diambil untuk permasalahan yang sama-sama
benar, sebagai seorang pemimpin , kita perlu mendasarkan keputusan kita pada 3
unsur yaitu berpihak pada murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal,
dan bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi dari keputusan yang diambil
sehingga berdampak
pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.
Tantangan
di lingkungan untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus
dilema etika diataranya pola pikir atau mindset yang ada dalam pikiran yang
belum sepenuhnya berpihak pada murid, Kebiasaan atau budaya yang sudah tertanam
selama ini yang sulit untuk dirubah,Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama informasi juga menjadi tantangan dalam pengambilan keputusan
terhadap kasus-kasus dilema etika.
Menurut KHD (2009), “pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya” Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai bagian dari persatuan (rakyat). Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Pendidikan menciptakan ruang bagi murid untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain (merdeka batin) dan menjadi mandiri (merdeka lahir). Kekuatan diri (kodrat) yang dimiliki, menuntun murid menjadi cakap mengatur hidupnya dengan tanpa terperintah oleh orang lain. Dengan memutuskan pembelajaran yang tepat sesuai bakat dan minat maka potensi diri para murid akan semakin berkembang sehingga ia menjadi manusia yang merdeka. Merdeka dalam belajar dan menentukan arah hidupnya.
Guru
Penggerak menjalankan filosofi among Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso Sung
Tulada (menjadi teladan, memimpin, contoh kebajikan, patut ditiru atau baik
untuk dicontoh oleh orang lain perbuatan-kelakuan-sifat dan lain-lainnya), Ing
Madya Mangun Karsa (memberdayakan, menyemangati, membuat orang lain memiliki
kekuatan, kemampuan, tenaga, akal, cara, dan sebagainya demi memperbaiki
kualitas diri mereka), serta Tut Wuri Handayani (mempengaruhi, memelihara, dan
memprovokasi kebajikan serta kualitas positif lain agar orang lain bertumbuh
dan maju). Menjadi pemimpin pembelajaran juga berarti menjadi pemimpin yang
menaruh perhatian penuh secara sengaja pada komponen pembelajaran, seperti
kurikulum (intra, ekstra, dan ko -kurikuler), proses belajar-mengajar, refleksi
dan asesmen yang otentik dan efektif, pengembangan guru, pemberdayaan dan
pelibatan komunitas yang kesemuanya mendorong terwujudnya wellbeing dalam
ekosistem pendidikan di sekolah. Yang dimaksud dengan wellbeing disini adalah
semua yang terkait dengan kondisi yang berpihak pada murid.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembelajaran Pengambilan pada modul Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin, mengambil keputusan berdasarkan pada 3 unsur yaitu berpihak pada murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal, dan bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi dari keputusan yang diambil, dengan prinsip Berpikir Berbasis Hasil Akhir (End-Based Thinking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) dan Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking). Denagn memperhatikan 4 paradigma,Individu lawan kelompok (individual vs community), Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term) kemudian membuat keputusan dengan sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan di antaranya: (1) Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini, (2) Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini, (3) Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini, (4) Pengujian benar atau salah, terdiri atas : Uji Legal, Uji Regulasi/Standar Profesional, Uji Intuisi, Uji Halaman Depan Koran, dan Uji Panutan/Idola, (5) Pengujian Paradigma Benar lawan Benar, (6) Melakukan Prinsip Resolusi, (7) Investigasi Opsi Trilema, (8) Buat Keputusan, (9) Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan membuat keputusan yang diambil lebih efektif untuk ditindak lanjuti. modul modul sebelumya menjadi modal utama dalam penambilan keputusan sebagai pemimpin,filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka erat dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin, dengan nilai dan peran guru penggerak akan meembantu dalam memilih dan menentukan keputusan yang mengadung dilema etika, penerapan budaya positif dan pengendalian sosial emosional juga akan membuat kita lebih bijak dalam pengambilan keputusan.
Sebelum mempelajari modul ini, saya pernah menerapkan pengambilan keputusan yang mengadung dilema etika saat menjadi wali kelas dalam merekap tingkat kehadiran murid dalam rapor kenaikan kelas, dilema muncul saat akan mencantumkan jumlah ketidakhadiran murid yang akan berpengaruh pada kenaikan kelas murid tersebut. saat itu keputusan yang saya ambil tidak menerapkan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan dan belum mempertimbangkan 4 paradigma dan 3 prinsip pengambilan keputusan.
Dampak
mempelajari konsep Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebijakan Sebagai
Pemimpin sangat luar biasa terutama saat akan memutuskan dan mengambil sebuah
keputusan, jika sebelumnya keputusan di ambil secara terburu-buru sekarang akan
lebih berhati hati agar keputusan dapat berpihak
pada murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal, dan bertanggung jawab
terhadap segala konsekuensi dari keputusan yang diambil.
Sebagai
individu mempelajari modul ini sangat bermanfaat dalam kehidupan keluarga,
sebagai kepala keluarga yang berperan sebagai suami dan seorang ayah, pengambilan keputusan yang
bertanggung jawab menjadi hal penting menyangkut masa depan, kesejahteraan dan
kebahagian dalam keluarga. dan harapannya ketika kelak menjadi seorang pemimpin
dalam komunitas dan tempat kerja, segala strategi dalam 9 langkah pengambilan dan
pengujian keputusan dapat mempertimbangkan 4 paradigma dan 3 prinsip
pengambilan keputusan.
Rabu, 29 Maret 2023
Koneksi Antar Materi Modul 2.3
Coaching untuk Supervisi Akademik
Pembelajaran terkait paradigma berpikir coaching dalam berkomunikasi dalam rangka mengembangkan kompetensi rekan sejawat; menerapkan praktik komunikasi memberdayakan dengan menggunakan paradigma berpikir dan prinsip coaching; serta melakukan percakapan berbasis coaching dalam komunitas sekolah untuk mengembangkan kompetensi rekan sejawat adalah materi yang saya pelajari dalam modul 2.3 ini. Sehingga kami sebagai calon guru penggerak mampu menjelaskan konsep coaching secara umum; membedakan coaching dengan pengembangan diri lainnya, yaitu mentoring, konseling, fasilitasi, dan training; menjelaskan konsep coaching dalam dunia pendidikan sebagai pendekatan pengembangan kompetensi diri dan orang lain/ rekan sejawat; menjelaskan paradigma berpikir coaching dalam komunikasi yang memberdayakan untuk pengembangan kompetensi; menjelaskan prinsip-prinsip coaching dalam komunikasi yang memberdayakan untuk pengembangan kompetensi;mengaitkan antara paradigma berpikir dan prinsip-prinsip coaching dengan supervisi akademik;membedakan antara coaching, kolaborasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka memberdayakan rekan sejawat; melakukan percakapan coaching dengan alur TIRTA; mempraktikkan tiga kompetensi inti coaching: coaching presence, mendengar aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot dalam percakapan coaching;menjelaskan jalannya percakapan coaching untuk membuat rencana, melakukan refleksi, memecahkan masalah, dan melakukan kalibrasi;memberikan umpan balik dengan paradigma berpikir dan prinsip dan coaching;mempraktikan rangkaian supervisi akademik yang berdasarkan paradigma berpikir coaching yang dilakukan dengan alur MERDEKA yaitu Mulai dari Diri, Eksplorasi Konsep , Ruang Kolaborasi Demonstrasi Kontekstual,Elaborasi Pemahaman Koneksi Antarmateri dan Aksi nyata.
Pada alur
Mulai dari diri kami menjawab
pertanyaan-pertanyaan reflektif terkait supervisi akademik dan pengembangan
kompetensi diri agar mampu mengidentifikasi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
terkait coaching di konteks pendidikan. Pada tahap
ini pengetahuan awal tentang praktik supervisi akademik yang selama ini
dilakukan sangat jauh berbeda, selama ini supervisi pembelajaran dikelas lebih
banyak seperti hubungan antara seseorang yang berpengalaman dan yang kurang
berpengalaman seperti mentor yang langsung memberikan tips bagaimana
menyelesaikan suatu masalah atau mencapai sesuatu. Awalnya emosi terkejut
muncul setelah tahu bahwa Coaching dapat diterapkan dalam supervisi akedemik,
kemudian rasa tertarik mulai untuk lebih dalam memahami dan menerapkan berbagai
praktik baik terkait keterampilan coaching.
Pada alur
Eksplorasi konsep ada materi Konsep Coaching secara Umum dan Konsep Coaching dalam
Konteks Pendidikan yang membedakan coaching dengan pengembangan diri lainnya,
yaitu mentoring, konseling, fasilitasi dan training. secara Umum Coaching didefinisikan
sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada
hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas
performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi
dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching
sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan
kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar
daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International
Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai “bentuk kemitraan bersama klien (coachee)
untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui
proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.” Selain coaching, ada
beberapa metode pengembangan diri yang lain yang bisa jadi sudah kita praktikan
selama ini di sekolah yaitu mentoring, konseling, fasilitasi dan training.
Stone
(2002) mendefinisikan mentoring sebagai suatu proses dimana seorang teman,
guru, pelindung, atau pembimbing yang bijak dan penolong menggunakan
pengalamannya untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan dan mencegah
bahaya. Sedangkan Zachary (2002) menjelaskan bahwa mentoring memindahkan
pengetahuan tentang banyak hal, memfasilitasi perkembangan, mendorong pilihan
yang bijak dan membantu mentee untuk membuat perubahan.
Gibson
dan Mitchell (2003) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara
konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian
diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara itu, Rogers
(1942) dalam Hendrarno, dkk (2003:24), menyatakan bahwa konseling merupakan
rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan secara langsung dengan individu yang
tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.
Shwarz
(1994) mendefinisikan fasilitasi sebagai sebuah proses dimana seseorang yang
dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok, secara substantif berdiri netral,
dan tidak punya otoritas mengambil kebijakan, melakukan intervensi untuk
membantu kelompok memperbaiki cara-cara mengidentifikasi dan menyelesaikan
berbagai masalah, serta membuat keputusan, agar bisa meningkatkan efektivitas
kelompok itu.
Training
menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright (2003) merupakan suatu usaha yang
terencana untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan yang berkaitan
dengan pengetahuan, keahlian dan perilaku oleh para pegawai.
Konteks
Pendidikan, Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing
Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi semangat yang menguatkan
keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching.
Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan
memberdayakan (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid. Sebagai
seorang Guru (pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka
perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki
Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai
salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun). Dalam relasi guru
dengan guru, seorang coach juga dapat membantu seorang coachee untuk menemukan
kekuatan dirinya dalam pembelajaran. Pendekatan komunikasi dengan proses
coaching merupakan sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang terjadi
secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan
persaudaraan. Oleh sebab itu, empat (4) cara berpikir ini dapat melatih guru
(coach/pamong) dalam
menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam setiap perjumpaan pada
setiap proses komunikasi dan pembelajaran.
Untuk
dapat membantu rekan sejawat dalam mengembangkan kompetensi diri mereka dan
menjadi otonom, kita perlu memiliki paradigma berpikir coaching terlebih
dahulu. Paradigma tersebut adalah: fokus pada coachee/rekan yang akan
dikembangkan, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang
kuat dan mampu melihat peluang baru dan masa depan. namun dalam pratik keseharian
memiliki paradigma berfikir coaching sulit dilakukan jika rekan sejawat tidak tau
harus kemana saat menghadapi masalah, rasa segan juga akan muncul jika harus
menawarkan diri untuk membantu mencari solusi dengan paradigma berfikir coaching,
karena selama ini rekan sejawat yang yang menghadapi masalah akan langsung meminta
solusi secara instan atas permasalahan yang dihadapi. untuk murid penerapan coaching
hampir mirip dengan penerapan segitiga restitusi, dimana kita hanya membantu
untuk murid menemukan solusi dari masalah yang dihadapi dengan kesadaran
internal murid.
Prinsip
coaching dikembangkan dari tiga kata/frasa kunci pada definisi coaching, yaitu
“kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi”. Dalam berinteraksi
dengan rekan sejawat atau siapa saja, kita dapat menggunakan ketiga prinsip
coaching tersebut dalam rangka memberdayakan orang yang sedang kita ajak
berinteraksi. Pada pengalaman sebelum mempelajari modul ini, untuk menerapkan prinsip coaching
pada rekan sejawat yang menghadapi masalah terasa canggung jika menghadapi rekan
yang lebih senior atau atasan, kesan menggurui jika kita coba masuk dalam ranah
membantu masalah rekan sejawat, oleh sebab itu sangat penting membangun
kemitraan dengan rekan sejawat agar dapat memaksimalkan potensi rekan sejawat
dalam proses yang kreatif.
kompetensi
inti coaching yaitu kehadiran Penuh/Presence, mendengarkan Aktif dan Mengajukan
Pertanyaan Berbobot. Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir
utuh bagi coachee, atau di dalam coaching disebut sebagai coaching presence
sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan
coaching. Kehadiran penuh ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan
membantu munculnya paradigma berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan
percakapan coaching. Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah
keterampilan mendengarkan dengan aktif atau sering kita sebut dengan menyimak.
Seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit
berbicara. Dalam percakapan coaching, fokus dan pusat komunikasi adalah pada
diri coachee, yakni mitra bicara. Dalam hal ini, seorang coach harus dapat
mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk
penilaian terhadap coachee. Dalam melakukan percakapan coaching ketrampilan kunci
lainnya adalah mengajukan pertanyaan dengan tujuan tertentu atau pertanyaan
berbobot. Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang
untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal
yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam
diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi
pengembangan diri dan kompetensi. Selama ini yang saya alami, jika ada rekan
sejawat yang menhadapi masalah, maka mereka datang langsung untuk mendapatkan
saran dan solusi dari kita, saat kita banyak bertanya malah semakin
membingungkan rekan sejawat karena masih terselip asumsi dari masalah yang
mereka alami mengarah menghakimi, saat rekan sejawat bercerita
tentang masalah yang di alami kadang tersa “ Gatal” untuk memberikan solusi dalam
pemecahan masalah, padahal belum tentu solusi yang kita anggap baik, baik dan
cocok pula bagi rekan sejawat. Untuk itulah sangat penting untuk hadir secara
penuh, mendengarkan aktif dan mengajukan pertanyaan berbobot jika ada rekan
sejawat yang bercerita tentang masalah yang dihadapi.
Percakapan
Berbasis Coaching dengan Alur TIRTA yang dikembangkan dari satu model umum
coaching yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW
model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will. Pada
tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai
coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality (Hal-hal yang nyata): proses
menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options (Pilihan): coach
membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang
nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Will (Keinginan untuk maju):
komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.
Pada
alur ruang kolaborasi yang terdiri dari
dua sesi yaitu sesi latihan dan praktik bekerjasama dengan satu CGP lainnya untuk berlatih percakapan coaching
dengan alur TIRTA dan mempraktikkan percakapan coaching dan memberikan refleksi mengenai
praktik percakapan coaching yang telah dilakukan di dalam kelompok bersama
fasilitator. Dalam sesi latihan masih banyak asumsi dan menghakimi yang mucul dalam
percakapan, dengan refleksi setelah latihan kami menyadari kekurangan dan
segera membuat rencana tindak lanjut untuk lebih banyak berlatih dan mengasah
keterampilan dalam percakapan coaching. Dalam Latihan dan diskusi dalam Ruang
kolabrorasi ini juga muncul kesadaran bahwa ternyata selama ini Pendamping
sudah menerepakan Prinsip dan kompetensi coaching dalam setiap pertemuaan
secara luring saat pendamping disekolah kami masing-masing, Pertanyaan-pertanyaan
pendamping dengan alur TIRTA membantu kami dalam menemukan potensi diri dalam
mengembangkan dan melakukan aksi nyata dilingkungan sekolah. Pada Ruang
kolaborasi ini juga saya pribadi juga baru menyadari teryata dari awal modul 1.1
Fasilitator dalam memberikan penguatan alur dan pertanyaan yang muncul sudah
menerapkan prinsip dan kompetensi coaching, pengaturan dalam pembelajaran dengan
Alur MERDEKA juga ternyata menerapkan prinsip pembelajaran berdiferensiasi,
seperti pengumpulan tugas yang di sesuaikan dengan bakat dan minat kami sebagai
CGP. Ada budaya Positif seperti membuat kesepakatan kelas saat pembelajaran
daring dengan Fasilitator, di sela-sela pembelajaran daring fasilitator juga memberikan
ICe Breaking, teknik Mindfulness sebagai wujud Pembelajaran Sosial dan Emosional.
Pada alur
demonstrasi kontekstual berlatih mempraktikkan percakapan coaching secara berkelompok.
Percakapan coaching ini merupakan situasi nyata yang dihadapi coachee. Situasi
ini dapat mengenai pembelajaran maupun personal coachee. Pada sesi ini sangat
banyak pengalaman menarik yang kami alami,p Pengalaman luar biasa saat berperan
sebagai pengamat, coach maupun coachee. keterampilan dalam menerapkan percakapan
coaching dengan alur TIRTA jadi lebih terasah dengan berkolaborasi dengan Rekan
CGP hebat dalam satu kelompok.
Pada alur
elaborasi berdiskusi
untuk mengelaborasi pemahaman bersama instruktur secara tatap maya mengenai
konsep coaching dalam konteks pendidikan, khususnya pada ranah supervisi
akademik. Pada sesi ini, kami mendiskusikan hal tersebut dan bersama-sama
membuat kesepakatan pemahaman mengenai coaching dalam konteks pendidikan. Banyak
hal baru dan menarik dalam setiap materi yang di sampaikan oleh instruktur.
pembelajaran juga menarik karena instruktur menerapkan Pembelajaran Sosial dan
Emosional dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara daring.
Dalam
alur aksi nyata
akan dilakukan rangkaian supervisi klinis dan percakapannya dengan
paradigma berpikir coaching secara langsung dengan rekan sejawat. Rangkaian
supervisi klinis ini terdiri dari kegiatan perencanaan sebelum observasi
(pra-observasi), observasi dan pasca observasi berupa praktik percakapan
coaching yang memberdayakan.
Dalam
rangkaian pembelajaran dalam modul 2.3 ini hal baik yang muncul merubah
pendekatan saya dalam mengadapi atau mendengarkan keluh kesah atau cerita dari
rekan sejawat, jika dahulu saya akan segera mencoba membatu dengan memberikan
berbagai alternatif solusi sesuai dengan pemikiran pribadi, saat ini saya akan
menahan diri untuk langsung memberikan solusi, materi pada modul sebelum nya,
Terkait Segitiga Restitusi yang tidak
memberikan solusi langsung tapi menuntun
untuk rekan sejawat atau murid menemukan
sendiri solusi dari masalah yang dihadapi sangat banyak membantu dalam
menerapkan teknik coaching dengan rekan sejawat. Adapun yang perlu diperbaiki
setelah mempelajari modul ini adalah cara memulai untuk melakukan percakapan
coaching dengan rekan sejawat atau murid yang tertutup, yang tidak banyak bercerita dan tidak mau
membagikan masalahnya dengan orang lain.
Tantangan
dalam menerapkan praktik coaching juga muncul berhubungan dengan budaya dan
kebiasan di tempat saya mengajar,. dimana orang yang lebih tua akan di anggap
bisa memberikan solusi dan sedikit “tabu” jika yang muda mengajari yang lebih
tua, sehingga akan menjadi sedikit masalah jika ada rekan yang lebih tua atau
atasan yang bercerita terkait masalah yang di hadapi akan kita ajak bercerita
dan berbincang dengan prinsip dan kompetensi coaching, kita akan di Anggap “KEPO”
jika banyak bertanya dan akan membuat rekan sejawat menjadi merasa tidak nyaman.
Oleh sebab itu perlunya sosialisasi atau diseminasi degan atasan dan rekan
sejawat terkait coaching dan apa yang membedakan coaching dengan mentoring,
konseling, fasilitasi dan training, agar tidak terjadi salah pengertian saat
kita akan menerapkan pendekatan dan kompetensi coaching dengan rekan sejawat
Senin, 21 November 2022
Sabtu, 19 November 2022
Sabtu, 05 November 2022
Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata

Ki Hajar Dewantara memberikan pemikirannya tentang Dasar-dasar Pendidikan. Menurut KHD, Pendidikan bertujuan untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Peran Pendidik diibaratkan seorang Petani atau tukang kebun yang tugasnya adalah merawat sesuai kebutuhan dari tanaman-tanamannya itu agar tumbuh dan berbuah dengan baik, tentu saja beda jenis tanaman beda perlakuanya. Artinya bahwa kita seorang pendidik harus bisa melayani segala bentuk kebutuhan metode belajar siswa yang berbeda-beda (berorientasi pada anak). Kita harus bisa memberikan kebebasan kepada anak untuk mengembangkan ide, berfikir kreatif, mengembangkan bakat/minat siswa (merdeka belajar), tapi kebebasan itu bukan berarti kebebasan mutlak, perlu tuntunan dan arahan dari guru supaya anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya.

Refleksi dari pengetahuan dan pengalaman baru
yang dipelajari dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Sebelum mempelajari pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara, saya yakin bahwa dengan tindakan-tindakan tegas dan hukuman, murid dapat menjadi apa yang diharapkan oleh guru. Tapi perubahan yang terjadi hanya didasari oleh rasa takut dan bersifat sementara, bukan atas kesadaran pribadinya. Saya belum menyadari akan keberadaan kodrat alam sang anak, sehingga sering tidak sabar ketika ada anak yang lamban memahami pelajaran yang saya ajarkan.
Setelah mempelajari pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara, saya harus memberikan arahan dan tuntunan kepada murid dengan lebih sabar, karena murid mempunyai talenta dan bakat yang berbeda beda. Tidak perlu memberikan hukuman yang sifatnya tidak mendidik, memberikan contoh agar mereka bisa melihat dan menirunya. Memberikan pembelajaran yang menyenangkan bagi murid agar lebih merdeka dalam mengembangkan segala pontensi diri yang dimiliki