Rabu, 29 Maret 2023

Koneksi Antar Materi Modul 2.3

Coaching untuk Supervisi Akademik

     Pembelajaran terkait paradigma berpikir coaching dalam berkomunikasi dalam rangka mengembangkan kompetensi rekan sejawat; menerapkan praktik komunikasi memberdayakan dengan menggunakan paradigma berpikir dan prinsip coaching;  serta melakukan percakapan berbasis coaching dalam komunitas sekolah untuk mengembangkan kompetensi rekan sejawat adalah materi yang saya pelajari dalam modul 2.3 ini. Sehingga kami sebagai calon guru penggerak mampu menjelaskan konsep coaching secara umum; membedakan coaching dengan pengembangan diri lainnya, yaitu mentoring, konseling, fasilitasi, dan training; menjelaskan konsep coaching dalam dunia pendidikan sebagai pendekatan pengembangan kompetensi diri dan orang lain/ rekan sejawat; menjelaskan paradigma berpikir coaching dalam komunikasi yang memberdayakan untuk pengembangan kompetensi; menjelaskan prinsip-prinsip coaching dalam komunikasi yang memberdayakan untuk pengembangan kompetensi;mengaitkan antara paradigma berpikir dan prinsip-prinsip coaching dengan supervisi akademik;membedakan antara coaching, kolaborasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka memberdayakan rekan sejawat; melakukan percakapan coaching dengan alur TIRTA; mempraktikkan tiga kompetensi inti coaching: coaching presence, mendengar aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot dalam percakapan coaching;menjelaskan jalannya percakapan coaching untuk membuat rencana, melakukan refleksi, memecahkan masalah, dan melakukan kalibrasi;memberikan umpan balik dengan paradigma berpikir dan prinsip dan coaching;mempraktikan rangkaian supervisi akademik yang berdasarkan paradigma berpikir coaching yang dilakukan dengan alur MERDEKA yaitu Mulai dari Diri, Eksplorasi Konsep , Ruang Kolaborasi Demonstrasi Kontekstual,Elaborasi Pemahaman Koneksi Antarmateri  dan Aksi nyata.

Pada alur Mulai dari diri kami menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif terkait supervisi akademik dan pengembangan kompetensi diri agar mampu mengidentifikasi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan terkait coaching di konteks pendidikan. Pada tahap ini pengetahuan awal tentang praktik supervisi akademik yang selama ini dilakukan sangat jauh berbeda, selama ini supervisi pembelajaran dikelas lebih banyak seperti hubungan antara seseorang yang berpengalaman dan yang kurang berpengalaman seperti mentor yang langsung memberikan tips bagaimana menyelesaikan suatu masalah atau mencapai sesuatu. Awalnya emosi terkejut muncul setelah tahu bahwa Coaching dapat diterapkan dalam supervisi akedemik, kemudian rasa tertarik mulai untuk lebih dalam memahami dan menerapkan berbagai praktik baik terkait keterampilan coaching.

Pada alur Eksplorasi konsep ada materi Konsep Coaching secara Umum dan Konsep Coaching dalam Konteks Pendidikan yang membedakan coaching dengan pengembangan diri lainnya, yaitu mentoring, konseling, fasilitasi dan training. secara Umum Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai “bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.” Selain coaching, ada beberapa metode pengembangan diri yang lain yang bisa jadi sudah kita praktikan selama ini di sekolah yaitu mentoring, konseling, fasilitasi dan training.

Stone (2002) mendefinisikan mentoring sebagai suatu proses dimana seorang teman, guru, pelindung, atau pembimbing yang bijak dan penolong menggunakan pengalamannya untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan dan mencegah bahaya. Sedangkan Zachary (2002) menjelaskan bahwa mentoring memindahkan pengetahuan tentang banyak hal, memfasilitasi perkembangan, mendorong pilihan yang bijak dan membantu mentee untuk membuat perubahan.

Gibson dan Mitchell (2003) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara itu, Rogers (1942) dalam Hendrarno, dkk (2003:24), menyatakan bahwa konseling merupakan rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan secara langsung dengan individu yang tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.

Shwarz (1994) mendefinisikan fasilitasi sebagai sebuah proses dimana seseorang yang dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok, secara substantif berdiri netral, dan tidak punya otoritas mengambil kebijakan, melakukan intervensi untuk membantu kelompok memperbaiki cara-cara mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai masalah, serta membuat keputusan, agar bisa meningkatkan efektivitas kelompok itu.

Training menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright (2003) merupakan suatu usaha yang terencana untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan perilaku oleh para pegawai.

Konteks Pendidikan,  Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid. Sebagai seorang Guru (pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun). Dalam relasi guru dengan guru, seorang coach juga dapat membantu seorang coachee untuk menemukan kekuatan dirinya dalam pembelajaran. Pendekatan komunikasi dengan proses coaching merupakan sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan. Oleh sebab itu, empat (4) cara berpikir ini dapat melatih guru (coach/pamong) dalam menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam setiap perjumpaan pada setiap proses komunikasi dan pembelajaran.

Untuk dapat membantu rekan sejawat dalam mengembangkan kompetensi diri mereka dan menjadi otonom, kita perlu memiliki paradigma berpikir coaching terlebih dahulu. Paradigma tersebut adalah: fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat dan mampu melihat peluang baru dan masa depan. namun dalam pratik keseharian memiliki paradigma berfikir coaching sulit dilakukan jika rekan sejawat tidak tau harus kemana saat menghadapi masalah, rasa segan juga akan muncul jika harus menawarkan diri untuk membantu mencari solusi dengan paradigma berfikir coaching, karena selama ini rekan sejawat yang yang menghadapi masalah akan langsung meminta solusi secara instan atas permasalahan yang dihadapi. untuk murid penerapan coaching hampir mirip dengan penerapan segitiga restitusi, dimana kita hanya membantu untuk murid menemukan solusi dari masalah yang dihadapi dengan kesadaran internal murid.

Prinsip coaching dikembangkan dari tiga kata/frasa kunci pada definisi coaching, yaitu “kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi”. Dalam berinteraksi dengan rekan sejawat atau siapa saja, kita dapat menggunakan ketiga prinsip coaching tersebut dalam rangka memberdayakan orang yang sedang kita ajak berinteraksi. Pada pengalaman sebelum mempelajari  modul ini, untuk menerapkan prinsip coaching pada rekan sejawat yang menghadapi masalah terasa canggung jika menghadapi rekan yang lebih senior atau atasan, kesan menggurui jika kita coba masuk dalam ranah membantu masalah rekan sejawat, oleh sebab itu sangat penting membangun kemitraan dengan rekan sejawat agar dapat memaksimalkan potensi rekan sejawat dalam proses yang kreatif.

kompetensi inti coaching yaitu kehadiran Penuh/Presence, mendengarkan Aktif dan Mengajukan Pertanyaan Berbobot. Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, atau di dalam coaching disebut sebagai coaching presence sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching. Kehadiran penuh ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan percakapan coaching. Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah keterampilan mendengarkan dengan aktif atau sering kita sebut dengan menyimak. Seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara. Dalam percakapan coaching, fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara. Dalam hal ini, seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk penilaian terhadap coachee. Dalam melakukan percakapan coaching ketrampilan kunci lainnya adalah mengajukan pertanyaan dengan tujuan tertentu atau pertanyaan berbobot. Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi. Selama ini yang saya alami, jika ada rekan sejawat yang menhadapi masalah, maka mereka datang langsung untuk mendapatkan saran dan solusi dari kita, saat kita banyak bertanya malah semakin membingungkan rekan sejawat karena masih terselip asumsi dari masalah yang mereka alami  mengarah  menghakimi, saat rekan sejawat bercerita tentang masalah yang di alami kadang tersa “ Gatal” untuk memberikan solusi dalam pemecahan masalah, padahal belum tentu solusi yang kita anggap baik, baik dan cocok pula bagi rekan sejawat. Untuk itulah sangat penting untuk hadir secara penuh, mendengarkan aktif dan mengajukan pertanyaan berbobot jika ada rekan sejawat yang bercerita tentang masalah yang dihadapi.

Percakapan Berbasis Coaching dengan Alur TIRTA yang dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.

Pada alur  ruang kolaborasi yang terdiri dari dua sesi yaitu sesi latihan dan praktik bekerjasama dengan satu CGP lainnya untuk berlatih percakapan coaching dengan alur TIRTA dan mempraktikkan percakapan coaching dan memberikan refleksi mengenai praktik percakapan coaching yang telah dilakukan di dalam kelompok bersama fasilitator. Dalam sesi latihan masih banyak asumsi dan menghakimi yang mucul dalam percakapan, dengan refleksi setelah latihan kami menyadari kekurangan dan segera membuat rencana tindak lanjut untuk lebih banyak berlatih dan mengasah keterampilan dalam percakapan coaching. Dalam Latihan dan diskusi dalam Ruang kolabrorasi ini juga muncul kesadaran bahwa ternyata selama ini Pendamping sudah menerepakan Prinsip dan kompetensi coaching dalam setiap pertemuaan secara luring saat pendamping disekolah kami masing-masing, Pertanyaan-pertanyaan pendamping dengan alur TIRTA membantu kami dalam menemukan potensi diri dalam mengembangkan dan melakukan aksi nyata dilingkungan sekolah. Pada Ruang kolaborasi ini juga saya pribadi juga baru menyadari teryata dari awal modul 1.1 Fasilitator dalam memberikan penguatan alur dan pertanyaan yang muncul sudah menerapkan prinsip dan kompetensi coaching, pengaturan dalam pembelajaran dengan Alur MERDEKA juga ternyata menerapkan prinsip pembelajaran berdiferensiasi, seperti pengumpulan tugas yang di sesuaikan dengan bakat dan minat kami sebagai CGP. Ada budaya Positif seperti membuat kesepakatan kelas saat pembelajaran daring dengan Fasilitator, di sela-sela pembelajaran daring fasilitator juga memberikan ICe Breaking, teknik Mindfulness sebagai wujud Pembelajaran Sosial dan Emosional.

Pada alur demonstrasi kontekstual berlatih mempraktikkan percakapan coaching secara berkelompok. Percakapan coaching ini merupakan situasi nyata yang dihadapi coachee. Situasi ini dapat mengenai pembelajaran maupun personal coachee. Pada sesi ini sangat banyak pengalaman menarik yang kami alami,p Pengalaman luar biasa saat berperan sebagai pengamat, coach maupun coachee. keterampilan dalam menerapkan percakapan coaching dengan alur TIRTA jadi lebih terasah dengan berkolaborasi dengan Rekan CGP hebat dalam satu kelompok.

Pada alur elaborasi berdiskusi untuk mengelaborasi pemahaman bersama instruktur secara tatap maya mengenai konsep coaching dalam konteks pendidikan, khususnya pada ranah supervisi akademik. Pada sesi ini, kami  mendiskusikan hal tersebut dan bersama-sama membuat kesepakatan pemahaman mengenai coaching dalam konteks pendidikan. Banyak hal baru dan menarik dalam setiap materi yang di sampaikan oleh instruktur. pembelajaran juga menarik karena instruktur menerapkan Pembelajaran Sosial dan Emosional dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara daring.

Dalam alur aksi nyata akan dilakukan rangkaian supervisi klinis dan percakapannya dengan paradigma berpikir coaching secara langsung dengan rekan sejawat. Rangkaian supervisi klinis ini terdiri dari kegiatan perencanaan sebelum observasi (pra-observasi), observasi dan pasca observasi berupa praktik percakapan coaching yang memberdayakan.

Dalam rangkaian pembelajaran dalam modul 2.3 ini hal baik yang muncul merubah pendekatan saya dalam mengadapi atau mendengarkan keluh kesah atau cerita dari rekan sejawat, jika dahulu saya akan segera mencoba membatu dengan memberikan berbagai alternatif solusi sesuai dengan pemikiran pribadi, saat ini saya akan menahan diri untuk langsung memberikan solusi, materi pada modul sebelum nya, Terkait Segitiga Restitusi  yang tidak memberikan  solusi langsung tapi menuntun untuk  rekan sejawat atau murid menemukan sendiri solusi dari masalah yang dihadapi sangat banyak membantu dalam menerapkan teknik coaching dengan rekan sejawat. Adapun yang perlu diperbaiki setelah mempelajari modul ini adalah cara memulai untuk melakukan percakapan coaching dengan rekan sejawat atau murid yang tertutup, yang  tidak banyak bercerita dan tidak mau membagikan masalahnya dengan orang lain.

Tantangan dalam menerapkan praktik coaching juga muncul berhubungan dengan budaya dan kebiasan di tempat saya mengajar,. dimana orang yang lebih tua akan di anggap bisa memberikan solusi dan sedikit “tabu” jika yang muda mengajari yang lebih tua, sehingga akan menjadi sedikit masalah jika ada rekan yang lebih tua atau atasan yang bercerita terkait masalah yang di hadapi akan kita ajak bercerita dan berbincang dengan prinsip dan kompetensi coaching, kita akan di Anggap “KEPO” jika banyak bertanya dan akan membuat rekan sejawat menjadi merasa tidak nyaman. Oleh sebab itu perlunya sosialisasi atau diseminasi degan atasan dan rekan sejawat terkait coaching dan apa yang membedakan coaching dengan mentoring, konseling, fasilitasi dan training, agar tidak terjadi salah pengertian saat kita akan menerapkan pendekatan dan kompetensi coaching dengan rekan sejawat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar